Posts

Showing posts from March, 2010

Penyakit OD (Otak mandek)

Otak mandek gak bisa ngeblog. Situasi yang gak banget padahal saya lagi pengin ngutak-ngatik blog saya. Belakangan kerjaan melulu yang kepikiran. Tema yang gak menarik. Bikin sumpek otak saya. Menuh-menuhin halaman blog saja. Duh, betulan mampet. Gak ada ide. Gak ada inspirasi. Mata saya dari tadi hanya liatin layar kosong. Terang banget sampai sakit mata saya. Padahal otak sudah muter-muter kayak komedi puter . Cari ide tapi tetep keblinger . Sudah berkali-kali ganti gaya pula. Duduk sila, nopang dagu, sampai rebahan. Tetep otak gak juga encer. Ampun deh. Hujan sampai dah reda. Gak ada juga ide mau nulis apa muncul di kepala saya. Mata saya sudah lima wot pula. Konsultasi lewat sms dengan seseorang, minta dilempar ide tentang apa saja, tetep gak manjur. Padahal dulu ampuh bener sampai akhirnya muncul sebuah tulisan. Begini nih kalo otak dibiarin kayak robot. Yang dipikirin cuma kerjaan. Ide-ide kreatif males muncul jadinya. Otak saya pasti lagi capek. Ogah mikir. Gak m

lebam

Saya menengadah. Langit belum lagi mendung. Cuaca cerah, tapi wajahnya justru kebalikan dari lautan biru langit. Ia pucat. Juga sayu. Wajahnya yang putih pucat pasi begitu saru dengan gumpalan awan tempatnya bersembunyi. “Bocah yang malang...,” bisik saya. Pelan sekali, takut mengantarnya kabur dari pojok persembunyiannya. Tapi ia tetap di atas sana. Sayap bocah itu tersembul dari balik awan. Saya lihat urat-urat sayap itu terluka. Pastinya, karena warnanya sebagian merah keunguan. Seperti lebam pada kulit. Salah satu sayapnya mesti patah, karena bentuknya bengkok tak simetris. Walau terhalang kulit yang pucat seperti bedak yang dipakai kebablasan, bocah bersayap bengkok itu tetap memancarkan senyuman. Saya terharu, tapi menangis hanya membuatnya semakin terpuruk. Jadi saya hanya diam. Mencoba untuk membalas senyumnya. Saya rasa ia sukai itu. Si bocah lama mematung tak bergerak. Diam menggelantung di awan yang makin lama membentuk bermacam sketsa. Pipa rokok, bebek, rumah bercerobong a

Obsesi

Teman 1: La, hp loe kok gak bisa dihubungin? Gimana Java Jazz seru gak? Teman2: Hp loe mati ya? Hari Minggu gue telponin gak bisa masuk. Senin jadi minton? Sepertinya saya harus menyerah pada tekad saya untuk hanya punya satu handphone. Sejak punya dua nomor telepon, saya sering menerima pesan pendek (SMS) yang sudah beruntung isinya tidak memaki-maki saya. SMS itu dikirim ke nomor sehari-hari saya, yang kalau di akhir pekan, seringkali mati total. Tidak saya pasang karena saya ganti dengan nomor satunya. Ya, karena saya patuh pada obsesi untuk punya hanya satu handphone. Saat saya pasang nomor kedua saya, nomor lainnya otomatis menganggur. Ketika saya nyalakan nomor sehari-sehari saya, SMS yang sering mempertanyakan keberadaan dan nasib handphone saya, muncul bertubi-tubi. Bermunculan seperti kartu pos jatuh dari langit. Hanya saja, semuanya datang terlambat. Isi SMS pun terkadang jadi basi karena datang di waktu yang bukan semestinya. Betul, itu karena saya bebal untuk tidak memiliki

Berteman dengan gelap

Saya familiar dengan gelap. Sejak kecil, saya sudah begitu akrab dengan kegelapan. Perkenalan awal saya dengan gelap dimulai semasa saya kecil. Saat itu singlet dan celana dalam masih menjadi kostum kebanggaan saya sepulang sekolah. Berlari, berkelahi, menangis dan berlari, berkelahi, menangis lagi. Itu saja kerja saya dan abang saya saat bel sekolah mengantarkan kami pulang. Meski tahun kelahiran kami hanya berselang satu tahun, bukan berarti kami adik-kakak yang ideal. Bukannya saling mengasihi, kami lebih sering berkelahi. Alhasil, dua kamar mandi di rumah kami jadi punya nilai tambah. Bukan saja untuk mandi, tapi seringkali juga berubah fungsi jadi penjara yang gelap gulita, terutama buat saya. Saking nakalnya, saya dan abang sering dijebloskan ke sana. Kamar mandi dengan saklar lampu yang hanya bisa dinyalakan dari luar. Saya ketakutan sampai menangis keras. Apa saja bisa terjadi dalam gelap bukan? Bukankah hantu, kuntilanak, genderuwo, sampai pocong adalah produk kegelapan? Tapi