Workshy, Tolong Bawa Saya Ke Masa Lalu

Minggu. Acara benah-benah kamar. Ah, hiperbola. Maksud saya benah-benah folder di komputer saya. Kalau urusan benah-benah kamar tetap saya percayakan pada mbak Sum. Saya tidak mau menjamah pekerjaannya ah, takut nanti kehormatannya sebagai cleaning service terkesan saya langkahi (Alasan. Dasar saya pemalas…). Selagi bersih-bersih folder, tak sengaja saya menemukan folder album grup favorit saya yang lagu-lagunya pernah saya dengar jaman kuliah dulu.

The Finest Collection of Workshy ternyata mumpet di bagian terdalam kumpulan folder. Ih, betapa norak bercampur bahagia saya ketika menemukan folder grup jempolan saya itu. Bagaikan seorang pilot yang akan melepas landaskan pesawatnya, saya langsung sibuk pencet sana sini.

Speaker on. Check!
Subwoofer on. Check!
Maximum volume. Check!
Flight attendants, get-down position (halah…).

Dan ampuni saya Tuhan, acara ajojing sendirian di kamar pun tidak bisa saya hindari. Spontan siang ini saya kencan dengan duo acid jazz yang musiknya dibilang perpaduan jazz latin Matt Bianco dan pop jazz nya Swing Out Sister itu. Workshy juga sukses berat menambah dosa saya dengan membohongi seorang teman, membatalkan janji makan siang kami demi membuat posting ini (strategi akal bulus, hehehe...). Tapi yang lebih hebat, lagu-lagu Workshy sukses menerbangkan saya ke masa lampau. Seperti parfum, sekali dicium, sensasi wanginya menyedot kita masuk ke dalam black hole alias lubang hitam yang sukses abess dan jenius memutarbalikkan kehidupan kita. Tidak percaya? Sana praktekkan sendiri.

Balik ke sensasi Workshy, lantunan musik jazz ini tepat mendaratkan saya di kota Bandung, tempat saya kuliah dulu. Gelinding ke arah Ciumbuleuit, lalu geser sedikit ke jalan Rancabentang dan berhenti di rumah kontrakan saya yang menyempil di antara rumah kosan dan rumah kontrakan lainnya. Di kamar, saya suka joget belingsatan tak karuan mendengar duo jazzer Inggris ini. Sendirian. Tak ada mata-mata menatap aneh pada saya yang sedang meliuk patah-patah seperti mobil yang berjalan ndut-ndutan karena kurang cairan oli.

Alam bawah sadar saya masih melayang-layang. Mendung di luar hari ini mulai merambah masuk ke pikiran saya. Seperti ada Picasso dalam kepala saya, otak saya mulai lihai melukis kenangan masa lalu di Bandung. Di lukisan itu, saya duduk di belakang kemudi mobil kesayangan saya, Sporti. Mobil Suzuki amenity berpintu dua itu memang sungguhan tampil sporty. Saya tak bosan membawanya mengitari kota Bandung yang besarnya cuma segitu-gitunya. Turun jalan Ciumbuleuit, masuk Dago. Menyusuri jalan Merdeka lanjut ke kawasan Asia Afrika. Lewat Braga ke arah Cipaganti. Lanjut naik ke daerah Ledeng. Putar balik menuju Cihampelas. Lihat keramaian sebentar, masuk lagi ke jalan satu arah Cipaganti. Jantung deg-degan. Ada razia polisi di depan sana. Bernapas lega tahu surat-surat Sporti aman. Sport jantung selesai, saatnya pulang.

Di bawah langit mendung, Sporti melaju pelan. Tak ada gunanya berkendara cepat-cepat di Bandung. Wong dari satu tujuan ke tujuan lainnya bisa ditempuh dalam waktu 5 menit. Angin dingin menerpa pipi saya lewat jendela mobil yang selalu saya biarkan terbuka. Saat itu, Bandung masih lucu-lucunya. Bandung masih dingin macam puncak.

Workshy masih mengalun dalam tape mobil saya. Dan Sporti setia betul membawa saya kemanapun saya pergi. Saya memang sering berkendara tanpa tujuan. Sendiri, tanpa teman navigator. Duh, saya kangen sekali dengan saat-saat intim saya bersama Sporti. Oh ya, kadang-kadang kami treesome dengan Workshy, haha..

Comments

Anggra said…
senyum2, baca yg threesome nya

Popular posts from this blog

Pesan

Biarkan

Cinta