Pulang
Barusan saya mampir ke rumah yang telah lama kami tinggalkan. Rumah itu telah kosong hampir setahun lamanya. Saya berdiri di depan pagar, menatap dalam-dalam pondasi yang pernah menjadi tiang penyangga cerita bahagia. Dahulu, saat semuanya mengalir indah.
Dari balik pagar rumah kami nyaris runtuh karena tak terurus. Dindingnya yang dulu putih gading kini telah menghitam. Catnya pun mengelupas membawa kisah kehidupan yang dulu melekat kuat tak terpisahkan. Dari balik kaca jendela biasanya kami ada. Menimbun bahagia yang tidak kalah meriah dari pesta ulang tahun sekumpulan bocah. Bersama anak-anak yang tumbuh dewasa, kami perlahan menyatu sebagai keluarga.
Kini bahagia itu sudah tidak tampak lagi. Ilalang yang tumbuh tinggi menghalangi pandangan saya yang mencoba menembus sisa-sisa kaca yang kebanyakan telah pecah. Saya lihat halaman rumah kami tak lagi sama. Bunga-bunga kisah satu persatu sudah layu membuat daun-daunnya berhamburan di tanah. Belum sempat saya punguti, tiba-tiba saya merasakan angin berhembus dan daun-daun kenangan kami terbang bersamanya. Saya hanya bisa melihatnya melayang-layang hingga menjadi bayangan hitam di langit sana. Sebelum pandangan saya beranjak, tiba-tiba saya lihat langit berubah kelam. Sore itu ternyata mendung. Semendung awan hati saya. Di kala suasana menjadi semakin sendu, saya merasakan air mata jatuh membasahi pipi. Gumpalan air itu jatuh seperti jiwa saya yang telah runtuh.
Irama guntur dan lampu kilat menemani langkah saya ketika pintu pagar yang telah berkarat itu saya buka. Suara berdecit dari besi karat yang tengah beradu itu membangunkan saya dari masa lalu. Satu persatu, kenangan demi kenangan mulai kembali. Saya telah pulang ke rumah.
Dari balik pagar rumah kami nyaris runtuh karena tak terurus. Dindingnya yang dulu putih gading kini telah menghitam. Catnya pun mengelupas membawa kisah kehidupan yang dulu melekat kuat tak terpisahkan. Dari balik kaca jendela biasanya kami ada. Menimbun bahagia yang tidak kalah meriah dari pesta ulang tahun sekumpulan bocah. Bersama anak-anak yang tumbuh dewasa, kami perlahan menyatu sebagai keluarga.
Kini bahagia itu sudah tidak tampak lagi. Ilalang yang tumbuh tinggi menghalangi pandangan saya yang mencoba menembus sisa-sisa kaca yang kebanyakan telah pecah. Saya lihat halaman rumah kami tak lagi sama. Bunga-bunga kisah satu persatu sudah layu membuat daun-daunnya berhamburan di tanah. Belum sempat saya punguti, tiba-tiba saya merasakan angin berhembus dan daun-daun kenangan kami terbang bersamanya. Saya hanya bisa melihatnya melayang-layang hingga menjadi bayangan hitam di langit sana. Sebelum pandangan saya beranjak, tiba-tiba saya lihat langit berubah kelam. Sore itu ternyata mendung. Semendung awan hati saya. Di kala suasana menjadi semakin sendu, saya merasakan air mata jatuh membasahi pipi. Gumpalan air itu jatuh seperti jiwa saya yang telah runtuh.
Irama guntur dan lampu kilat menemani langkah saya ketika pintu pagar yang telah berkarat itu saya buka. Suara berdecit dari besi karat yang tengah beradu itu membangunkan saya dari masa lalu. Satu persatu, kenangan demi kenangan mulai kembali. Saya telah pulang ke rumah.
Comments