Potong Rambut dan Hubungan
Saya bukan blogger sejati. Terbukti, blog saya ini sudah sekian lama saya tinggalkan. Terakhir isinya hanya cerita sedih dan kesedihan itu pula yang membawa saya jauh dari blog pribadi ini. Percaya tidak kalau emosi bisa membawa kita menjelajahi kata-kata sehingga terangkailah kalimat dan jadilah sebuah tulisan? Nah, saya takut itu terjadi (lagi). Karena seperti kaset rusak, maka tulisan saya akan berulang dan jadilah cerita sedih (kembali).
Lalu apakah ini berarti saya akan membuat cerita sedih? Bisa saja, hanya kali ini saya menolak. Minimal kemarin saya sempat berpikir tentang sebuah teori yang bisa jadi sebuah ide bagus untuk blog yang telah lama saya tinggalkan. Minimal (juga) blog saya yang lama dahaga, kini bisa bernapas lega karena saya telah kembali.
Teori ini mengenai dua hal yang jauh berbeda, namun ternyata dekat sekali artinya. Potong rambut dan hubungan. Sekilas tidak tampak kedekatan arti di antara dua kata itu. Ijinkan saya untuk menjelaskan.
Anda pasti pernah dan tidak menolak potong rambut saat rambut Anda sudah terlihat berantakan. Tapi pernahkah Anda merasa ragu pergi ke salon di saat Anda yakin sekali ingin rambut Anda dipotong? Faktor kuat yang membuat Anda ragu adalah ketika Anda mengaca di detik-detik ingin pergi ke salon, Anda merasa rambut Anda masih indah. Tidak berdosa rasanya jika sehari saja Anda bisa menikmati rambut Anda. Entah kondisi ini kamuflase atau tipuan semata, tapi Anda berhasil dikelabui dan pada akhirnya Anda menunda acara potong rambut yang sudah masuk agenda seminggu yang lalu.
Nah, di tengah keraguan ini Anda menjadi bimbang. Setelah berpikir ulang, meditasi, mandi air kembang, semedi, akhirnya Anda pergi juga ke salon. Mudah saja alasannya, Anda kali ini yakin ingin rambut Anda dipotong. Anda masuk ke salon, dikeramas, duduk di kursi, proses potong rambut, dan woala!.. rambut Anda rapih. Meski terkadang merasa potongan rambut Anda tidak cocok dengan bentuk wajah, tapi lama kelamaan Anda merasa oke.
Lalu hubungannya dengan hubungan? Kaitkan seperti ini. Pernahkah Anda merasa ingin menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, lalu tiba-tiba, datang orang lain yang membuat Anda ragu untuk menjalankan hubungan tadi? Pilihannya dua. Anda bisa bertindak seperti kasus potong rambut tadi; pertama, Anda bisa membatalkan niat menjalin hubungan dan beralih ke orang lain tadi, atau kedua, Anda bisa terus dan teguh kukuh berlapis baja menjalin hubungan itu tanpa memedulikan orang lain.
Kebanyakan di kasus saya, saya memilih yang kedua. Saya teguh kukuh berlapis baja menjalin hubungan yang saya yakini bisa membuat bahagia. Entah apa akhirnya, tapi saya yang terlalu kuat bermain dengan perasaan pada akhirnya memilih mengagungkan perasaan dibandingkan logika saya. Bahagia.. itu yang ingin saya raih. Itu rasa yang mengawali niat saya untuk menjalin hubungan. Seperti kasus potong rambut, awalnya saya merasa rambut saya tidak cocok dengan wajah, tapi lama kelamaan saya merasa oke. Sama halnya dengan hubungan. Awalnya saya merasa ragu, tapi setelah dijalani, saya bahagia..
Lalu apakah ini berarti saya akan membuat cerita sedih? Bisa saja, hanya kali ini saya menolak. Minimal kemarin saya sempat berpikir tentang sebuah teori yang bisa jadi sebuah ide bagus untuk blog yang telah lama saya tinggalkan. Minimal (juga) blog saya yang lama dahaga, kini bisa bernapas lega karena saya telah kembali.
Teori ini mengenai dua hal yang jauh berbeda, namun ternyata dekat sekali artinya. Potong rambut dan hubungan. Sekilas tidak tampak kedekatan arti di antara dua kata itu. Ijinkan saya untuk menjelaskan.
Anda pasti pernah dan tidak menolak potong rambut saat rambut Anda sudah terlihat berantakan. Tapi pernahkah Anda merasa ragu pergi ke salon di saat Anda yakin sekali ingin rambut Anda dipotong? Faktor kuat yang membuat Anda ragu adalah ketika Anda mengaca di detik-detik ingin pergi ke salon, Anda merasa rambut Anda masih indah. Tidak berdosa rasanya jika sehari saja Anda bisa menikmati rambut Anda. Entah kondisi ini kamuflase atau tipuan semata, tapi Anda berhasil dikelabui dan pada akhirnya Anda menunda acara potong rambut yang sudah masuk agenda seminggu yang lalu.
Nah, di tengah keraguan ini Anda menjadi bimbang. Setelah berpikir ulang, meditasi, mandi air kembang, semedi, akhirnya Anda pergi juga ke salon. Mudah saja alasannya, Anda kali ini yakin ingin rambut Anda dipotong. Anda masuk ke salon, dikeramas, duduk di kursi, proses potong rambut, dan woala!.. rambut Anda rapih. Meski terkadang merasa potongan rambut Anda tidak cocok dengan bentuk wajah, tapi lama kelamaan Anda merasa oke.
Lalu hubungannya dengan hubungan? Kaitkan seperti ini. Pernahkah Anda merasa ingin menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, lalu tiba-tiba, datang orang lain yang membuat Anda ragu untuk menjalankan hubungan tadi? Pilihannya dua. Anda bisa bertindak seperti kasus potong rambut tadi; pertama, Anda bisa membatalkan niat menjalin hubungan dan beralih ke orang lain tadi, atau kedua, Anda bisa terus dan teguh kukuh berlapis baja menjalin hubungan itu tanpa memedulikan orang lain.
Kebanyakan di kasus saya, saya memilih yang kedua. Saya teguh kukuh berlapis baja menjalin hubungan yang saya yakini bisa membuat bahagia. Entah apa akhirnya, tapi saya yang terlalu kuat bermain dengan perasaan pada akhirnya memilih mengagungkan perasaan dibandingkan logika saya. Bahagia.. itu yang ingin saya raih. Itu rasa yang mengawali niat saya untuk menjalin hubungan. Seperti kasus potong rambut, awalnya saya merasa rambut saya tidak cocok dengan wajah, tapi lama kelamaan saya merasa oke. Sama halnya dengan hubungan. Awalnya saya merasa ragu, tapi setelah dijalani, saya bahagia..
Comments