Tebak-tebak plat nomor

“AB plat nomor mana?” Matanya nanar melihat plat nomor polisi kendaraan di depan kami. Kendaraan itu diam. Hanya ada satu arti. Jalan macet.

“Jogja..,” jawab saya.

“BL?”

“Aceh. Baru kemarin kesana. Jadi masih ingat.” Masih teringat penjelasan seorang teman yang saya sangka gurauan.

“Orang Aceh itu kalau mau buat plat nomor, bilangnya mau buat BL. Itu betul loh.”

Karena bukan guyonan, jadi saya hanya mengangguk-angguk.

“BK?” Moodnya sedang ingin bermain rupanya.

“Bengkulu?” jawab saya lebih pada bertanya. Bisa saja BK kependekan dari Bengkulu kan?

“Medan.” Kemenangan tersungging dari bibirnya.

“Kalau BG apa?” Saya mulai terpancing. Tak mau kalah tepatnya.

“Hmm.. mana ya BG?” Wajahnya berusaha mengingat sesuatu.

“Palembang. Dulu plat mobil teman BG soalnya,” saya menimpali dengan mantap. “BE apa coba?” Saya mulai ketagihan.

“Mana ya?”

Saya senang. Ia bingung. Saya menang. Ia linglung.

“Lampung. Mobil teman soalnya BE.” Saya seraya mengibarkan bendera kemenangan. “Kalau G?” tanya saya lagi, tanpa ampun.

Dia diam, nyengir.

“Pemalang.” Terbayang kendaraan miliknya.

“Tegal ah,” tebaknya, setengah ragu.

“Berarti plat Pemalang sama Tegal sama,” Saya membiarkan ia meraih keberuntungan.

Saya pikir separuh warga Jakarta akan meninggalkan kota berhubung long weekend. Menularkan kemacetan di kota lain. Ternyata pikiran saya salah. Macet masih setia pada kota tercinta ini.

"BM?"

Oh, permainan ini belum juga tamat? Saya diam tanda tidak tahu. There's always first time for everything kan?

"Riau," bilangnya.

“Semarang apa hayo?” Giliran saya.

Ronde kedua. Saya geli melihatnya mengerutkan dahi. Ia menggeleng.

“H. Z?” tanya saya bertubi-tubi.

Dia nyengir lagi. Menggeleng lagi.

“Tasik.” Terbayang saat melancong ke Tasikmalaya. Naik kendaraan berplat huruf paling bontot.

“Banten?” Dia mulai menunjukkan taringnya. Tak heran, dia lahir disana.

“Apa ya.. lupa.” Saya menyerah tanpa memutar otak terlebih dahulu.

“A” jawabnya sempurna.

Saya pikir dengan terungkapnya plat nomor dengan huruf awal dan bontot, bakal menyudahi permainan. Sekali lagi, pikiran saya salah.

”Kenapa plat nomor tidak disamain aja dengan huruf depan kotanya ya? Jakarta ya J aja. Bandung B. Solo S,” katanya.

“Gak seru. Nanti gak bisa ditebak. Semarang S. Bali B. Gak seru kan?” Saya asal goblek (bicara). “Lagian nanti Bogor sama Bandung rebutan plat nomor dong?” jawab saya tambah asal-asalan.

Kami terdiam. Kemacetan masih merambah jalan protokol yang tengah kami lalui. Mata kami memerah, terpantul lampu rem yang berpendar dari kendaraan di depan kami.

“Kenapa ada plat A, B, D, dan E tapi gak ada C?” Saya memecah keheningan.

“Iya ya..,” katanya baru sadar. “Padahal F,G,H ada ya?,” katanya menerawang ke depan.

Kendaraan mulai bergerak. Seiring jarum jam yang meninggalkan detik demi detik dari pukul 9 malam.



Comments

Popular posts from this blog

mari gemukkan badan

Masa lalu, kenangan, dan sejarah

sandiwara Tuhan