Berteman dengan gelap

Saya familiar dengan gelap. Sejak kecil, saya sudah begitu akrab dengan kegelapan. Perkenalan awal saya dengan gelap dimulai semasa saya kecil. Saat itu singlet dan celana dalam masih menjadi kostum kebanggaan saya sepulang sekolah. Berlari, berkelahi, menangis dan berlari, berkelahi, menangis lagi. Itu saja kerja saya dan abang saya saat bel sekolah mengantarkan kami pulang. Meski tahun kelahiran kami hanya berselang satu tahun, bukan berarti kami adik-kakak yang ideal. Bukannya saling mengasihi, kami lebih sering berkelahi. Alhasil, dua kamar mandi di rumah kami jadi punya nilai tambah. Bukan saja untuk mandi, tapi seringkali juga berubah fungsi jadi penjara yang gelap gulita, terutama buat saya.

Saking nakalnya, saya dan abang sering dijebloskan ke sana. Kamar mandi dengan saklar lampu yang hanya bisa dinyalakan dari luar. Saya ketakutan sampai menangis keras. Apa saja bisa terjadi dalam gelap bukan? Bukankah hantu, kuntilanak, genderuwo, sampai pocong adalah produk kegelapan? Tapi sekeras apapun tangisan saya, dinding penjara kamar mandi seolah-olah menjadi kedap suara. Dan saya terjebak di dalamnya. Terkadang sampai lupa waktu.

Saya takut gelap. Itu awalnya, sampai saya terlalu sering dijebloskan ke dalam sel kamar mandi. Ketika tanpa sengaja mengganggu adik hingga menangis kejer, lagi-lagi saya masuk lorong gelap tanpa cahaya itu setelah saya terlebih dulu merasakan ditempeleng oleh ayah. Di kamar mandi saya menangis sesegukan. Bukan lagi karena gelap, tapi karena pipi saya panas. Perkelahian ketiga, kesepuluh, ketujuhbelas, sampai kesekian kalinya membuat saya terlalu sering ‘diasingkan’ dalam ruang gelap. Membuat saya pada akhirnya kebal dan tidak bisa tidak berada dalam kegelapan. Terutama saat tidur.

Saya semakin intim dengan gelap. Saya menikmati ruang yang tanpa cahaya itu. Karena dalam ruang yang pekat itu, saya melihatnya. Mengamati seluk beluk wajahnya. Memandang matanya yang jatuh sayu. Begitu dalam, sampai saya tak sadar berhenti bernapas. Tubuh saya bergetar. Rupanya kupu-kupu sedang menari menggelitik perut saya. Geli, tapi bercampur rasa yang lain setiap kali saya memandang wajahnya.

Di balik kegelapan, saya bisa mengendus bau tubuhnya. Aroma yang khas, yang kalau saja tertangkap sinar, mungkin saya bisa melihatnya. Melayang, lalu terbang, kemudian hilang diserap udara. Saya membayangkan menangkapnya dan menggenggamnya erat. “Baumu ada di tanganku..,” saya tersenyum, tak bosan menyesap aroma khas yang telah melebur di tangan. Seperti candu saya pikir.

Saya pejamkan mata dan sekejap gelap telah berubah menjadi lautan hitam yang luas. Saya menikmati lorong yang kelam itu. Disana, tanpa penerangan, saya bisa merasakan napasnya menghembus, menyentuh kulit wajah saya. Menyapu pipi saya yang dulu panas ditempeleng. Napasnya hangat, sehangat yang saya rasakan setiap ada disampingnya. Iramanya begitu teratur. Cepat, lalu perlahan melambat. Sesekali saya rasakan tubuhnya menghentak kecil.

Saya tersenyum. Dalam gelap. Dalam ruang tak bercahaya itu, ia tertidur di pelukan..

Comments

Popular posts from this blog

Pesan

Biarkan

Cinta