lebam

Saya menengadah. Langit belum lagi mendung. Cuaca cerah, tapi wajahnya justru kebalikan dari lautan biru langit. Ia pucat. Juga sayu. Wajahnya yang putih pucat pasi begitu saru dengan gumpalan awan tempatnya bersembunyi.

“Bocah yang malang...,” bisik saya. Pelan sekali, takut mengantarnya kabur dari pojok persembunyiannya. Tapi ia tetap di atas sana.

Sayap bocah itu tersembul dari balik awan. Saya lihat urat-urat sayap itu terluka. Pastinya, karena warnanya sebagian merah keunguan. Seperti lebam pada kulit. Salah satu sayapnya mesti patah, karena bentuknya bengkok tak simetris. Walau terhalang kulit yang pucat seperti bedak yang dipakai kebablasan, bocah bersayap bengkok itu tetap memancarkan senyuman.

Saya terharu, tapi menangis hanya membuatnya semakin terpuruk. Jadi saya hanya diam. Mencoba untuk membalas senyumnya. Saya rasa ia sukai itu.

Si bocah lama mematung tak bergerak. Diam menggelantung di awan yang makin lama membentuk bermacam sketsa. Pipa rokok, bebek, rumah bercerobong asap, kelinci, sampai sepatu boot. Lukanya belum lagi sembuh, tapi sayapnya mulai bergerak naik turun bagai kipas raksasa. Mengibas-ibas membuat angin sekelilingnya berputar. Membawa serta mendung yang menumpahkan hujan seketika.

“Bocah yang malang...,” Saya masih mendongak melihat si bocah. Rintik hujan membasahi wajah saya yang diam tertegun. Dan tiba-tiba semua menjadi kabur...

Comments

mono said…
love this post..

Popular posts from this blog

Pesan

Biarkan

Cinta