Kerdil
Kerdil. Entah sudah berapa puluh tahun mulut saya tidak pernah berucap kata kerdil. Tapi hari ini sayup-sayup kata itu melintas di pikiran saya. Biang keladinya tentu saja otak saya yang semakin mengkerut karena tak juga dipakai semestinya. Seharusnya saya sudahi pikiran galau ini sejak saya diingatkan kata ikhlas. Saya semestinya ikhlas, karena kalau tidak, rasa khawatir yang sudah memuncak di ubun-ubun bisa meledak dan buyar dengan sesak di dada.
Tidak. Saya tidak sedang terkena panic attack. Dua kata yang baru saja saya googling. Saya hanya merasa kerdil. Kerdil seketika saya harap, karena selamanya saya tidak ingin seperti itu. Saya memiliki arti, bukan sekedar tempat transit. Saya tidak seperti pelabuhan yang kalau pagi ke siang ramai, lalu malam ditinggalkan.
Tuhan, tolong kesampingkan kata kerdil dari benak saya, karena saya bukan seperti itu. Saya juga bukan pelabuhan.
Tidak. Saya tidak sedang terkena panic attack. Dua kata yang baru saja saya googling. Saya hanya merasa kerdil. Kerdil seketika saya harap, karena selamanya saya tidak ingin seperti itu. Saya memiliki arti, bukan sekedar tempat transit. Saya tidak seperti pelabuhan yang kalau pagi ke siang ramai, lalu malam ditinggalkan.
Tuhan, tolong kesampingkan kata kerdil dari benak saya, karena saya bukan seperti itu. Saya juga bukan pelabuhan.
Comments