Lorong

Matanya mengintip dari balik rongsokan yang lama teronggok di gudang. Tempat itu gelap, pengap, dan tepatnya di loteng. Tempat terakhir yang biasa dikunjungi orang. Sinar matahari kadang ogah menyelinap masuk ke tempat yang mirip lorong itu. Hari ini ia membuat pengecualian. Secuil sinarnya mampir dan kebetulan menyorot mata bocah itu.

Sedang apa dia? Tanyaku berbarengan dengan rasa penasaran. Meski sebelah mata, masih bisa kulihat bola matanya lurus menatapku. Dua tiga helai rambutnya menutupi keningnya. Ada tatapan lelah dari matanya meski ia sembunyikan betul.

Ayo kemari, panggilku. Namun yang dipanggil belum juga beranjak. Sampai kudekati perlahan ia baru bergerak mendekatiku. Giliran aku yang was-was. Waspada akan apapun yang bisa dilakukan bocah asing itu.

Aku maju selangkah. Ia semakin mendekat. Semakin aku bergerak, ia semakin tak berjarak denganku. Aku kaget. Si bocah bukanlah bocah. Berambut pendek, tak lebih tinggi dari aku, kulit sawo matang dan tampak dewasa. Semakin jelas ia perempuan, pikirku yang semula mengira berhadapan dengan bocah lelaki. Ada yang menyembul dari balik kaosnya.

Sinar matahari semakin memainkan perannya. Gudang itu seketika seperti diterangi seribu lentera. Terang dan mulai menampakkan isinya. Kertas berlembaran berserakan. Foto dengan wajah si bocah dewasa mengisi bingkai-bingkai yang terpaku di dinding. Ia bercengkrama dengan kawan perempuannya. Ia memeluk kawannya itu. Akrab. Kadang ia mencium kawannya. Mesra. Dan aku semakin terpana.

Tatapanku kembali pada si bocah yang telah berdiri tepat di hadapanku. Entah di detik mana ia kemudian lenyap. Tiba-tiba aku bisa merasakan satu-dua helai rambutnya mnggelitik mataku. Aku merasakan tatapannya yang lelah. Aku mengerti isi lembaran itu bagai dongeng yang usang. Dan foto-foto itu, aku melihat diriku.

Aku masih di lorong itu. Yang kudapati hanya diriku dihadang cermin..

Comments

Popular posts from this blog

Pesan

Biarkan

Cinta