terpojok
Sydney 12 Mei,
Keduanya melihat saya dengan tatapan menghunjam. Seperti pedang yang siap menghunus bola mata saya yang memelas. Bagaikan serdadu, mereka ingin menggoyahkan dan menerobos benteng pendirian saya. Tatapan pasrah saya tak berarti buat mereka. Selagi saya bingung, mereka malah semakin gencar membuat saya linglung. Sinyal-sinyal hipnotis mereka membuat kondisi saya semakin kritis. Mereka tidak peduli kalau pusing saya sudah tujuh keliling karena tidak bisa memutuskan apalagi memilih keduanya.
Meski diam teronggok disana, suara mereka begitu berisik. Mulut mereka diam tapi saya seperti melihat mereka komat kamit. Suara mereka mengingatkan saya pada suara jarum jam yang tak juga kepayahan lalu berhenti. "Tik...tik...tik...tik..." Menggelitik otak saya sampai mau pecah rasanya. Tidak tahukah mereka, memilih keduanya adalah tidak mungkin. Selayaknya pertarungan calon presiden, mereka ingin saya pilih dan menang. Mereka ingin diprioritaskan seakan-akan mereka sama pentingnya.
Sebelum mereka betul-betul memojokkan saya, sebelum benteng saya berhasil diterobos, akhirnya saya mengambil langkah jitu. Saya mengambil langkah seribu dan meninggalkan mereka yang akhirnya manyun. Buku dan ipod itu terlalu menggiurkan buat saya fungsikan secara bersamaan. Dan saya tahu, itu sungguh tidak mungkin.
Comments