Kisah Jendela

Duduk dengan kepala bersandar di jendela bis kota, angin dingin sisa hujan membenamkan saya pada kesibukan di luar jendela. Sore itu kota menampakkan pemandangannya yang tidak asing. Mobil berserakan memadati jalan yang sebagian basah oleh hujan. Beberapa kendaraan berjalan serabutan. Ingin menyalip satu sama lain. Seperti kakimu yang terburu-buru meski tidak sedang memburu sesuatu. Beberapa kali saya melebarkan langkah supaya tak tertinggal dan akhirnya berhasil merapat disampingmu.

Klakson yang nyaring membawa saya kembali. Saat saya sadar, jendela tempat saya bersandar sedang menuturkan kisah lain. Di luar, kemacetan mulai meranggas di malam yang belum seberapa. Awan yang menggantung malah masih menyisakan warna abu-abu sore. Bus saya berhenti tepat di atas zebra cross. Penyebrangan itu jelas tak berfungsi lagi karena tidak tampak orang yg menyebranginya. Ia hanya sebatas sketsa garis terputus di tengah jalan seperti gambar yang belum tuntas dibuat. Seharusnya kerumunan orang yang melintasinya. Pasukan mantel berdasi model pekerja atau anak-anak muda memakai jins berpadu dengan tas ransel. Atau seseorang yang mengenakan jas hitam bertas slempang seperti dirimu. Bersender di tiang lampu menunggu saya melintasi zebra cross di perempatan besar yang mempertemukan puluhan pejalan kaki dari berbagai penjuru. Saya berbaur dengan pejalan kaki lain untuk menghampirimu dan seketika udara dingin saat itu menjadi hangat.

Bersandar di jendela, saya disadarkan oleh kilat di cakrawala. Hujan akan singgah lagi saya pikir. Begitu juga dengan ingatan saya tentang dirimu yang seharusnya sudah lama pergi tapi masih suka mampir.

Comments

Popular posts from this blog

mari gemukkan badan

Masa lalu, kenangan, dan sejarah

sandiwara Tuhan