Fenomena 2 Film 2012

Munculnya suara kontra terhadap film 2012 adalah femonena pertama yang saya lihat. Lalu ada fenomena kedua, yaitu tersedotnya masyarakat untuk mau capek-capek antri membeli karcis film ini. Saya adalah korban antri, itupun di minggu kedua film ini ditayangkan. Di minggu pertama, saya seperti kehabisan ide untuk membeli karcis. Saya sudah datangi dua bioskop cukup populer di Jakarta, tapi keduanya saat itu tampak seperti pasar. Orang dimana-mana. Loket juga sudah pasang pengumuman “Tiket habis” alias “Sold Out”. Jangan tanya untuk jam tayang yang mana, karena semua tiket untuk semua jam tayang malam itu HABIS.

Akhirnya saya dan teman menjadi penonton buangan. Beli karcis film yang tidak diminati siapa-siapa. Film yang menjadi pilihan terakhir dari banyak film yang di putar malam itu. Sebelum nonton, kami pergi ke cafe penjaja yoghurt. Meski cafenya menarik, dengan gaya minimalis dan self service, saya tetap gagal menyukai makanan rasa asam basi ini. Padahal topping-toppingnya saya suka. Saat menemani teman saya menikmati yoghurtnya, sambil bersantai saya melihat sekawanan ibu-ibu, mungkin mereka berlima, duduk di salah satu meja, menyantap yoghurt juga. Saya berpikir, buat apa mereka, para ibu ini, masih berkeliaran di mal ketika cinderella sebentar lagi berubah menjadi tikus alias jam 12 malam?

Di benak saya, timbul pikiran, apa jangan-jangan para ibu ini akan menonton film 2012. Karena kalau iya, hebat sekali mereka bisa dapat tiket di tengah serbuan anak-anak muda yang banyak sekali saya lihat di bioskop. Ah, tidak mungkin. Mana mau para ibu bling-bling ini (habis mereka pakai aksesoris perhiasan gak nahan kilaunya) mengantri demi 2012. Kalau saya adalah salah satu mereka, taruhlah penggerak para ibu bling-bling ini, saya akan mengutus supir atau pembantu saya untuk lebih dulu membeli tiket, jauh-jauh jam tayang.

Ibu bling-bling :
Parmin, beliin ibu tiket film 2012 di Grand Indonesia. Beli
5 ya. Tempat duduknya jangan paling belakang, juga jangan depan-depan amat. Ibu bisa pusing 7 keliling nanti nontonnya.

Parmin : Tiket bu? Baik bu

Ibu bling-bling :
Oya, beli yang jam 10 malem ya. Ibu mau makan, belanja, ngeceng, ngopi, jalan-jalan dulu di mol. Awas ya, jangan salah beli. FI-LEM-DUA-RIBU-DUA-BELAS, bukan dua ribu tiga belas, atau empat belas ya.

Parmin :
Dua ribu tiga bu? Eh dua ribu dua belas ya bu? Itu film atau harga cabe keriting bu? Eh maaf bu. Harus langung berangkat ya bu? Siap bu. Dua ribu berapa tadi bu? Duh maaf bu, saya linglung.

Ibu bling-bling :
Ini uangnya. Pokoknya kamu gak boleh pulang sebelum dapet tiket. Kalau perlu kamu ngantri sampai berhari-hari disana. Ibu denger ini malam pertama film itu diputar. Hayoh, sana berangkat!

Parmin : Eh iya bu. Saya berangkat dulu bu.

Ah, ada-ada saja kalau sampai begitu kejadiannya. Lagian, setelah saya nonton, ternyata filmnya biasa saja. Ceritanya basi, meski efek gambarnya menarik. Tapi saya seperti pernah melihat model film ini di film-film terdahulu yang ide ceritanya mirip.


Comments

Popular posts from this blog

Pesan

Biarkan

Cinta